
Bismillah
Seorang anak remaja berlari-lari dengan kalap. Ia terus berlari tak tentu arah dan menabrak orang-orang yang menghalangi jalannya. Ia terus berlari hingga hari semakin gelap. Lama-kelamaan ia kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tetapi celakanya, sekarang ia tidak tahu tengah berada di mana. Ia melihat sekeliling, yang ada hanyalah popohonan dan jalan setapak.
Langit sudah hampir gelap. Anak itupun memutuskan untuk berlari mengikuti jalan setapak itu, berharap menemukan seseorang atau keluar dari hutan ini.
Kini kegelapan malam telah menyelimuti seisi hutan, sedangkan ia sama sekali belum berhasil keluar dari hutan. Harapannya hampir pupus. Angin malam yang dingin mendadak bertiup dan membuat tulang-tulangnya bergetar.
Ia menggigil kedinginan dan memutuskan untuk duduk sejenak. Namun pada saat itulah samar-samar ia melihat cahaya dari kejauhan. Mungkin rumah seseorang. Yang jelas, jika ada cahaya di tengah hutan berarti ada orang.
Biarpun takut, namun ia terus berlari dalam kegelapan menuju cahaya itu. Sampai akhirnya ia sampai di sebuah bangunan gudang tua. Cahaya lampu remang-remang keluar dari dalam gudang tua itu. Suara alat-alat berat juga terdengar dari dalam sana. Ia dapat mendengar suara seseorang sedang mengelas logam.
Tidak ada pilihan lain, ia masuk ke dalam gudang tersebut. Di dalamnya ia melihat banyak besi-besi tua meskipun ada juga besi yang masih terlihat bagus. Di sana juga terdapat mesin-mesin rakitan. Bentuknya tidak elegan, tetapi sepertinya memiliki fungsi yang baik.
Ia terus berjalan ke dalam gudang, berharap bertemu dengan seseorang. Semakin ke dalam suara pengelasan logam terdegar semakin kencang. Hingga akhirnya ia sampai di tempat paling pojok dalam gudang tersebut.
Di sana terdapat sebuah mesin yang cukup besar. Bentuknya seperti mesin penggiling padi, namun dengan kompleksitas yang tinggi. Seorang pria dengan jas lab putih yang penuh bercak kotoran hitam sedang jongkok di depan mesin itu dan mengelas suatu bagian.
Api pengelas yang bertemu dengan logam menghasilkan percikan lidah-lidah api yang besar dan mengerikan. Anak itu menjadi was-was untuk mendekati pria itu karena takut terkena percikan lidah api. Alhasil anak itu tidak berani mendekati pria itu dan memutuskan untuk memanggilnya dari jauh.
“PERMISI!!!”
Ia berteriak namun suaranya tenggelam oleh suara pengelasan logam. Lantas ia memutuskan untuk mendekati sang pria. Ia menepuk bahu pria tersebut sehigga membuatnya terlonjak kaget.
Pria itu segera berbalik dan menatapnya untuk memastikan siapa orang yang menepuk bahunya. Ia mengenakan google pelindung mata sehingga anak itu tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya pria itu sambil melepaskan google nya.
Kini anak itu dapat melihat wajah sang pria dengan jelas. Seorang pria tua, mungkin berumur 60-an. Seluruh rambutnya sudah memutih. Wajahnya sangat kotor berlumuran oli.
“Ma.. Maaf pak. Saya tersesat”, ujar anak itu agak gugup.
“Oh. Ya, terkadang memang ada orang yang tersesat di hutan ini”, kata pria tua mengangguk-angguk, kemudian meletakkan alat lasnya “Kau lapar?”
"Umm, yah. Sedikit", jawab anak itu tak bisa menyembunyikan rasa laparnya.
“Ikut aku!” kata pria tua itu kemudian berjalan mendahului si anak. Anak itu segera mengikutinya dari belakang.
“Nak siapa namamu?” tanya pria tua itu.
“Rudi pak”, jawab si anak singkat.
“Kenalkan, namaku Ainstein”
Rudi segera teringat dengan sosok seorang profesor bernama Einstein, seorang profesor yang terkenal di bidang fisika. Jika dilihat-lihat, pria tua ini memang mirip dengan Einstein.
Mereka berdua keluar dari gudang dan berjalan ke sisi gudang. Di situ ada sebuah rumah kecil. Mereka masuk ke dalamnya. Sebuah rumah yang sempit, namun kelihatan nyaman. Banyak sekali buku-buku tentang teknik berserakan di ruang tamu. Ainstein memberi isyarat kepada Rudi untuk mengikutinya ke dapur.
“Saat ini aku hanya punya beberapa kentang, baru kupanen siang tadi. Kau tidak keberatan kalau hanya kurebuskan kentang?”
Rudi mengangguk dengan cepat. Ia sudah terlalu lapar untuk memilih-milih makanan. Ainstein segera mencuci beberapa kentang, memanaskan sepanci air, kemudian merebus kentang-kentang tersebut. Sambil menunggu, ia duduk di meja makan berhadapan dengan Rudi.
“Nak, kenapa kau bisa sampai tersesat di sini?”
“I... Pak... Anu...” Rudi agak gugup menjawab pertanyaan Ainstein.
Ainstein segera mengerti ada yang disembunyikan Rudi, sesuatu yang tidak ingin ia katakan pada sembarang orang asing.
“Orang tuamu pasti khawatir”, kata Ainstein sambil menghela napas.
Rudi diam sesaat sebelum menjawab, kelihatannya berpikir terlebih dahulu.
“Hmm, yah. Kalau ibuku, pasti akan khawatir”, kata Rudi sambil menatap ke arah meja.
Ainstein tampaknya mengerti apa kelanjutan kata-kata Rudi.
“Kalau begitu kau harus segera kembali untuk ibumu!”
“Tapi ibuku sudah meninggal setahun yang lalu pak”, jawab Rudi perlahan.
Ainstein tampak terkejut. Dari wajahnya terlihat ia merasa tidak enak telah membuat Rudi mengatakan hal itu.
"Maaf", kata Ainstein segera mengendalikan dirinya “tetapi memangnya ayahmu sama sekali tidak khawatir?”
“Ya, kurasa orang itu terlalu sibuk untuk mengkhawatirkanku”, jawab Rudi sambil memalingkan wajahnya yang tidak dapat menyembunyikan kekesalannya.
“Jadi kau sengaja pergi dari rumah?” tebak Ainstein.
“Eh.. Kurasa begitu”, jawab Rudi yang ingin berbohong tetapi tidak terlatih untuk itu.
“Hahaha, Ayahmu pasti orang yang jahat”, Ainstein berhenti sebentar untuk melihat reaksi Rudi, tetapi ia diam saja, sepertinya setuju “Memang kejahatan apa yang telah ia perbuat?”
“Emmm... Itu...” kata Rudi sambil memalingkan pandangannya pertanda ia tidak ingin bicara lebih banyak tentang itu.
Ainstein sedikit mengerti jika Rudi tidak ingin berbicara banyak tentang ayahnya pada orang asing. Ainstein segera bangkit untuk mengambil kentangnya yang sudah matang. Ia membagi kentang-kentang itu sama banyak di dua piring dan menyodorkan salah satu piring kepada Rudi.
Rudi memang sudah keparan. Tanpa menunggu kentangnya dingin ia segera mengupas kentang-kentang itu dan melahapnya. Ainstein menjadi kasihan melihat Rudi. Iapun menyodorkan kentangnya untuk Rudi.
“Kau makan saja punyaku jika masih lapar, aku akan merebus lagi”, kata Ainstein seraya bangkit untuk merebus kentang lagi.
Rudi menjadi tidak enak karena memakan jatah Ainstein. Karena itu Rudi segera memutar otak untuk mencari topik pembicaraan untuk menghangatkan suasana.
"Umm, pak", kata Rudi perlahan sambil mengunyah kentangnya "Kalau boleh tahu, apa yang sedang bapak buat di gudang tadi?"
"Mesin tadi?" Ainstein yang sedang mencuci kentang menoleh ke arah Rudi "Hahaha, itu hanya rongsokan"
Dari jawaban Ainstein, Rudi tahu Ainstein hanya tidak ingin memberitahukan Rudi. Biar bagaimanapun itu adalah privasinya. Rudi dapat memahami itu. Tetapi kini rasa ingin tahunya telah bangkit.
“Tapi biar bagaimanapun Anda kelihatan hebat”, kata Rudi sambil mengunyah kentangnya “Apa ini pekerjaan anda?”
“Hahaha, bukan. Aku hanya melakukan ini di waktu senggangku”, jawab Ainstein sambil memasukkan beberapa buah kentang ke dalam panci yang berisi air mendidih, kemudian berbalik menatap Rudi "tetapi aku terus melakukan ini sepanjang hidupku".
Rudi tertawa ringan mendengar canda Ainstein. Namun begitu ia semakin terpancing untuk bertanya lebih jauh.
“Kalau boleh tahu, apa kegunaan alat tadi?” tanya Rudi semakin penasaran. Kini ia tidak peduli walau melanggar privasi Ainstein.
“Untuk memperbaiki suatu kesalahan”, kata Ainstein kembali duduk berhadapan dengan Rudi “kesalahan yang dulu pernah kubuat”.
Ainstein berkata dengan wajah serius. Dari cara berbicaranya Rudi menyadari Ainstein sudah membuka sedikit hatinya kepada Rudi. Hal ini membuat Rudi semakin berani untuk bertanya lebih jauh.
“Maaf tapi, kesalahan apa pak?” tanya Rudi semakin penasaran.
“Aku pergi meninggalkan ayahku seorang diri. Kini aku ingin kembali untuk menemuinya. Kau tahu, aku sangat merindukannya...”
“Oooh. Apa ayah bapak orang yang baik?”
“Ya, kau benar Rudi!” kata Ainstein bersemangat “Ia adalah orang paling baik yang pernah ada!”
“Lalu kenapa bapak meninggalkannya?” tanya Rudi mengangkat sebelah alisnya.
“Hmm, ceritanya panjang. Sebentar!” Ainstein bangkit dan mengambil kentangnya yang sudah matang, lalu duduk kembali untuk bercerita.
“Dulu, aku tidak pernah bercita-cita menjadi seorang insinyur seperti sekarang”, Ainstein mulai bercerita sambil mengupas kentang “Aku sangat ingin menjadi pemain band!”
Ujung bibir Rudi menyunggingkan senyum ketika mendengar kata-kata Ainstein.
“Setelah lulus SMP, aku ingin masuk ke sekolah yang sama dengan teman-teman bandku. Tetapi ayah melarangku!”
“Ya, sudah kuduga”, gumam Rudi sangat pelan, hingga Ainstein hampir tak dapat mendengarnya.
“Tapi kau tahu yang lebih parah? Ia bahkan ingin memasukkanku ke sekolah asrama!” kata Ainstein “Kau tahu, sekolah asrama itu sangat ketat. Aku tidak akan diizinkan bermain band di sana!”
Rudi hanya mengangguk-angguk mengiyakan Ainstein.
“Karena itu aku menolaknya dengan tegas, tetapi ayah memaksaku! Hari itu kami bertengkar hebat. Pertengkaran itu berakhir dengan sebuah tamparan keras di pipiku!” Ainstein mulai bercerita dengan emosi meluap-luap.
“Pipiku sakit sekali, tetapi hatiku lebih sakit. Untuk pertama kalinya ayah menampar pipiku...”
“Ia benar-benar keterlaluan...” kata Rudi mencoba menghibur Ainstein yang tampak tua dan sedih.
“Ya aku tahu. Saat itu aku juga berpikir demikian. Karena itu aku segera pergi dari rumah. Aku terus berlari untuk menghilangkan sakit hatiku. Hingga tanpa kusadari aku sudah pergi selama berhari-hari”.
“Kau terus berlari selama itu?”
“Ya, selama itu. Hingga aku lelah dan memutuskan untuk kembali. Tapi kau tahu apa yang kutemukan ketika aku kembali?” mata Ainstein berkaca-kaca.
“Apa?” rasa penasaran telah membuat Rudi tidak sabaran.
“Bendera kuning dikibarkan di rumahku. Tetanggaku berkumpul di sana”.
“Jadi ayah bapak...” Rudi tidak sampai hati melanjutkan kata-katanya.
“Ya. Malam sebelum aku kembali, ayahku yang hatinya hancur terus berjalan entah ke mana mencariku. Ia terus berjalan tanpa melihat sekeliling. Hingga suatu ketika ia melihat seorang anak yang mirip denganku di seberang jalan. Tanpa pikir panjang ia berlari ke arah anak itu, dan pada saat itu sebuah mobil melaju dengan kencang...”
Rudi terpaku mendengarkan kisah tragis Ainstein. Matanya mulai berkaca-kaca, sepertinya ia dapat memahami perasaan Ainstein.
“Tapi bodohnya aku, pada saat itu aku malah berpikiran buruk pada ayahku. Hahaha, bodoh”, Ainstein menertawakan dirinya sendiri.
“Apa yang bapak pikirkan?” tanya Rudi menyelidik seraya mengangkat sebelas alis matanya.
“Saat itu aku berpikir ‘Ayah kejam sepertimu memang pantas mendapatkan ini’!”
“Benarkah...” kata Rudi tidak percaya, tapi kemudian menyadari sesuatu "Tapi tunggu dulu! Jika ayah anda sudah meninggal, lalu bagaimana bapak menemuinya?"
Ainstein berhenti bercerita. Kemudian ia menatap Rudi dalam-dalam. Sepertinya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Setelah tidak berapa lama, ia mendekatkan kepalanya ke arah Rudi.
"Rudi, kau bisa berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun?" tanya Ainstein sambil melirik ke kanan dan ke kiri.
"Ya, aku janji!" jawab Rudi cepat sambil mengangguk. Sebenarnya Rudi tidak begitu yakin bisa menjaga mulutnya, namun hasratnya untuk menjawab rasa penasarannya membuatnya mampu melakukan apapun.
"Baiklah", kata Ainstein mengangguk dan menjauhkan kepalanya "Sebenarnya, aku sedang membuat mesin waktu!"
"Ha?" Rudi terbelalak kaget tidak percaya.
Dalam sekejap rasa penasaran itu sirna. Kini dalam hatinya Rudi menganggap Ainstein sebagai orang tua gila. Orang tua gila yang bermimpi untuk menciptakan mesin yang hanya ada dalam film dan cerita-cerita fiksi.
Namun melihat keseriusan wajah Ainstein membuat Rudi tidak enak hati. Biar bagaimanapun orang tua ini telah menghabiskan hidupya untuk menciptakan mesin ini. Biar sekonyol apapun Rudi harus tetap menghargainya.
"Ya... Ya, hebat", kata Rudi cepat, namun tidak ingin melanjutkan pembicaraan konyol tentang mesin waktu. Ia segera mengalihkan topik pembicaraan. "Lalu bagaimana kelanjutan cerita tentang ayah bapak?"
“Ya, begitulah. Singkat cerita, aku mendapatkan uang asuransi ayahku. Kemudian aku memutuskan untuk sekolah di tempat teman-teman bandku. Bukan sekolah yang bagus memang, tapi setidaknya aku bisa bersama mereka”.
“Lalu mengapa kau malah menjadi insinyur?” tanya Rudi penasaran “Bukannya pemain band?”
“Yah, di situlah kebenaran kata ayahku terungkap. Di sekolah yang buruk itu satu persatu teman-temanku terjerumus narkoba. Hingga akhirnya mereka memaksaku untuk menggunakan narkoba juga”.
“Ternyata teman-teman bapak seperti itu”, kata Rudi bersimpati.
“Memang. Pada akhirnya uang asuransi ayahku habis dalam sekejap. Terpaksa kami mencuri untuk bisa membeli narkoba. Dan sialnya kami tertangkap pada percobaan pencurian kami yang pertama”.
“Benar-benar sial”.
“Sangat sial! Akhirnya aku menghabiskan tahun-tahun SMA ku di dalam pusat rehabilitasi. Pada saat itulah baru aku menyadari bodohny diriku...” Ainstein tampak semakin sedih, tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipinya yang berkeriput “3 tahun berlalu, dan aku keluar dari pusat rehabilitasi tanpa uang, tanpa orang yang mengenalku. Namun saat itu aku berpikir kalau aku masih memiliki teman-temanku”.
“Jadi kau masih ingin bermain band?”
“Ya, saat itu aku pikir masih ada harapan. Kau tahu kan ada salah satu band di negeri ini yang anggotanya mantan pengguna narkoba, namun mereka sukses luar biasa?”
“Ya, aku tahu", Rudi segera dapat mengenali band yang dimaksud "Aku suka lagu-lagu mereka!”
“Nah, itu! Dengan harapan itu, aku kembali menemui mereka, tapi kau tahu apa yang terjadi?”
Rudi menggeleng-gelengkan kepala, tetapi ia yakin sesuatu yang buruklah yang terjadi.
“Sekali lagi mereka terjerumus narkoba. Aku berusaha menjauhi mereka, tetapi mereka malah kembali mengajakku menjadi pengguna” tutur Ainstein “Hingga satu persatu dari mereka tewas akibat overdosis”.
“Lalu?” tanya Rudi sambil menelan ludah, ikut prihatin.
“Pada saat itu aku benar-benar sendiri. Sambil meratapi nasibku, aku berjalan terhuyung-huyung ke pemakaman ayahku. Di sana aku menangis. Menangisi nasibku hingga berhari-hari” Ainstein menarik napas panjang “Dan pada hari ketiga aku berhenti menangis. Kemudian aku bersumpah. Aku akan menjadi apa yang ia inginkan. Dan aku akan memenuhi semua harapannya”.
“Tapi bagaimana...”
“Ya, semua sudah terlambat. Andaikan detik itu bisa terulang kembali...” Ainstein berkata sedih “Tetapi aku tidak menyerah. Aku terus mencari jalan. Aku bekerja dengan keras, menggunakan uangnya untuk melanjutkan pendidikanku. Hingga suatu ketika aku mendapatkan ide ini!”
“Membuat mesin waktu???” Rudi meneruskan.
“Benar! Kemudian aku menghabiskan bertahun-tahun berikutnya untuk merakit mesin waktu. Dengan ini aku bisa kembali dan memenuhi seluruh harapan ayah saat ia masih hidup!”
“Lalu, apakah mesin waktunya sudah jadi?”
“Sedikit lagi! Sedikit lagi aku berhasil!”
Setelah mendengar cerita Ainstein dan antusiasmenya akan mesin waktu, secara tidak sadar Rudi mulai yakin kepada Ainstein. Ia tidak lagi menganggap ide mesin waktu adalah sesuatu yang konyol, meskipun ia juga masih belum yakin mesin itu mampu diciptakan. Terlebih lagi hanya diciptakan oleh satu orang, yang kini sudah tua.
Namun tiba-tiba terlintas suatu hal yang membuat Rudi tergelitik untuk bertanya.
“Luar biasa pak. Tapi, bagaimana bapak menemui ayah bapak nanti? Apa dengan mesin waktu bapak bisa kembali muda?”
Ainstein tampak shock mendengar pertanyaan Rudi. Ia jadi diam mematung selama beberapa saat. Kemudian ia menatap Rudi dengan tatapan kaget, tidak percaya, seperti tersadar akan sesuatu.
“Kau benar, aku tidak mungkin menemuinya dalam keadaan tua renta begini...” air mata kembali mengalir membasahi pipinya yang berkeriput “Pada akhirnya semua ini sia-sia... Seluruh tahun-tahun yang telah kulewati!”
"Pada akhirnya aku tidak bisa memperbaikinya... Tidak bisa... Tidak bisa... TIDAK BISA!" bentak Ainstein sambil memukul meja dan membuat piring di meja itu bergeser.
Rudi terlonjak kaget. Ia menjadi merasa bersalah. Seharusnya ia tidak menanyakan hal itu.
Namun tingkah Ainstein tidak berhenti hanya sampai di situ. Ia mulai memukul-mukulkan dahinya ke meja sambil terus mengumpati dirinya seperti anak kecil. Kata-katanya awalnya terdengar kasar, tetapi lama-kelamaan Rudi menyadari Ainstein sedang menangis. Puncaknya, Ainstein menangis tersedu-sedu sambil menyembunyikan wajahnya.
"Pak, kendalikan dirimu", kata Rudi berusaha menenangkan Ainstein, tetapi ia tidak tahu harus melakukan apa. Sebelumnya ia tidak pernah menenangkan orang tua yang sedang menangis. Ia terus memutar otaknya. "Semuanya telah terjadi, tidak ada gunanya bapak sesali. Jangan menyakiti diri bapak sendiri".
Ainstein mulai dapat mengendalikan dirinya. Isak tangisnya mulai mereda. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Rudi. Rudi dapat melihat kedua mata Ainstein yang begitu merah.
“Yah, kau benar... Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya aku hanya seorang pria tua bodoh yang sudah menyia-nyiakan seluruh hidupnya", kata Ainstein sambil menyeka air mata menggunakan lengan jas laboratoriumnya.
Rudi benar-benar merasa tidak enak. Baru saja ia menghancurkan seluruh harapan seorang pria tua. Sebuah harapan yang telah membuatnya kehilangan seluruh waktu hidupnya sia-sia.
"Maaf", kata Rudi singkat, tak tahu harus berkata apalagi.
"Tidak, tidak. Bukan salahmu. Hanya akulah yang bodoh", kata Ainstein masih menyesali diri "Setidaknya aku bisa melihat wajah ayahku kembali untuk terakhir kalinya. Walaupun pada saat itu ia tidak akan mengenaliku sebagai anak laki-lakinya”.
“Sekali lagi maaf pak”.
“Tidak, sudah kubilang kau tidak salah apapun”, Ainstein menggeleng-gelengkan kepalanya “Tapi nak, yang paling penting...”
“Ya?”
“Apa kau ingin bernasib sama sepertiku?”
Kata-kata Ainstein bagai petir yang menyambar Rudi. Mendadak ia teringat akan ayahnya. Ayahnya tidak seburuk yang selama ini ia pikirkan. Jika dipikirkan lagi, semenjak kematian ibunya kini ayahnya harus bekerja dan merawat Rudi sendirian. Tentu saja hal itu tidak mudah.
Terkadang ayahnya harus membatalkan janji-janji dengan Rudi karena pekerjaannya. Selama ini Rudi selalu berpikir egois dan menganggap ayahnya lebh mencintai pekerjaan. Padahal jika ayahnya tidak berkerja, siapa yang akan membiayai kehidupan Rudi?
Masakan ayahnya memang tidak enak sehingga Rudi tidak pernah mau memakannya. Padahal, Rudi tidak tahu betapa sulitnya untuk memasak.
Ketika ayahnya ingin memasukkan Rudi ke sekolah asrama di luar kota, Rudi malah berpikir ayahnya ingin membuang Rudi. Padahal mungkin saja justru ayahnya ingin melindungi Rudi. Ayahnya tidak memiliki banyak waktu di sisi Rudi, karena itu ia membutuhkan sebuah institusi yang mampu melindungi Rudi hingga Rudi cukup dewasa untuk melindungi dirinya sendiri.
Tanpa ia sadari air mata sudah membasahi pipi Rudi.
“Pak, terima kasih atas makanannya”, kata Rudi beranjak dari tempat duduknya “Kurasa sekarang aku harus pulang”.
“Kenapa buru-buru?" Ainstein tersenyum hangat "Di luar sangat gelap”.
“Yah, tapi ayahku pasti sangat cemas menantiku” jawab Rudi seraya memandang keluar, ke kegelapan malam hutan ini.
Senyum AInstein semakin melebar mendengar jawaban Rudi dan ia ikut beranjak dari duduknya.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil senter. Kau akan kuantar keluar dari hutan ini!”
“Ya, terima kasih pak!” Rudi tersenyum senang.
Ainstein segera mencari senter dan mengajak Rudi keluar. Mereka berjalan memasuki hutan menyusuri jalan setapak. Setelah berjalan beberapa meter, Rudi berpaling dan melihat ke arah rumah Ainstein.
“Pak, pintu rumahmu tidak dikunci?”
“Tidak perlu, tidak ada seorangpun yang akan mencuri dari rumah di dalam hutan”, Ainstein berkata dengan tenang “Lagipula sebentar lagi rumah dan gudang itu akan menghilang”.
“Hah, apa maksud bapak?” tanya Rudi heran.
“Kau tahu Rudi, lorong waktu itu menarik. Perubahan sedikit saja di masa lalu bisa mengubah banyak hal di masa depan”, jelas Ainstein “Kau tahu efek kupu-kupu?”
“Ya, aku pernah membaca tentang itu”, jawab Rudi.
“Jadi jika seseorang kembali ke masa lalu dan mengubahnya, maka bisa jadi orang itu juga akan ikut berubah, tergantung masa lalu yang ia ubah”.
“Lalu apa hubungannya dengan rumahmu?”
“Untuk mudahnya begini”, Ainstein berpikir sejenak untuk mencari analogi yang tepat “Ketika seseorang menciptakan mesin waktu untuk merubah masa lalu, dan ia berhasil. Maka di dunia di mana masa lalu itu sudah berubah, apa orang itu masih akan membuat mesin waktu?”
“Di dunia di mana keinginannya sudah terpenuhi, mungkin ia tidak perlu lagi membuatnya?”
“Benar sekali Rudi, kau memang pintar! Ketika ia tidak perlu lagi membuatnya, maka mesin waktu itu akan menghilang pada saat itu juga! Begitu juga dengan barang-barang yang dibawa bersama dengan mesin waktu tersebut!”
“Ya, tapi aku masih tidak mengerti, apa hubungannya dengan rumahmu?”
“Masa lalu telah berubah Rudi!”
Tiba-tiba angin malam bertiup dengan kencang. Tanpa sadar Rudi sudah berhasil keluar dari hutan. Ia bisa melihat cahaya lampu kota tempat tinggalnya dari kejauhan. Rudi sangat senang ia bisa kembali. Ia segera menatap ke arah Ainstein.
“Pak terima kasih sudah...”
Namun Rudi kaget bukan main melihat tubuh Ainstein yang menjadi transparan.
“A... Apa yang terjadi... Apa bapak itu hantu???” kata Rudi terbata-bata.
“Tidak Rudi, aku bukan hantu”, kata Ainstein tersenyum.
“Lalu... Lalu...”
“Seperti yang kubilng tadi, masa lalu sudah berubah. Kini mesin waktu sudah tidak perlu diciptakan. Aku akan menghilang dari waktu ini. Begitu juga semua yang kubawa bersamaku”.
Rudi seolah tidak percaya atas apa yang ia lihat dan dengar. Tangannya menjadi gemetaran.
“Tapi senter itu tidak akan hilang. Itu senter ayahmu, kucuri dari rumahmu beberapa hari yang lalu”, kata Ainstein menunjuk ke arah senter yang dipegang Rudi.
“Jadi... Jadi...”
“Oh ya Rudi, setelah ini perjalanan hidupmu masih panjang. Dan selama itu aku ingin kau tetap meyakini ini dalam hatimu! Ayahmu sangat menyayangimu! Dan akan selalu menyayangimu sampai kapanpun juga!”
“Pak... Kau itu...”
“Mungkin terkadang ia bertindak tidak seperti yang kau harapkan. Tapi pada saat itu kau harus ingat, sebenarnya ia sangat menyayangimu!!!”
Kini Rudi mulai mencoba mengendalikan dirinya. Tubuh Ainstein semakin transparan dan suaranya pun semakin tidak terdengar. Rudi tahu, setelah ini mereka tidak akan pernah bertemu lagi, namun ia ingin memastikan.
“Apa kita akan bertemu lagi?”
“Hahaha, bodoh! Kita akan selalu bersama sampai kapanpun, sampai kau mati!!Ahahahahaha”
“Hahahaha” Rudi ikut tertawa bersama Ainstein.
“Jadi, selamat tinggal Rudi!!!”
“Selamat tinggal!!!”
Dan lenyaplah Ainstein dari hadapan Rudi. Kini hanya tinggal ia sendiri dengan senternya. Rudi segera berlari memasuki hutan. Ia berlari mengikuti jalan setapak menuju rumah Einstain. Nafasnya tersengal-sengal namun ia tidak berhenti.
Akhirnya ia sampai di tempat tujuannya, dan ia tidak menemukan apapun di sana. Masa lalu sudah berubah. Tidak ada alasan bagi Ainstein untuk tetap di sini. Semua jejak keberadaan Ainstein pun sudah menghilang. Rudi tersenyum lega.
Ia segera berbalik dan berlari dengan kencang menuju rumahnya. Ia berlari bagaikan angin yang berhembus. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Kini ia sangat merindukan ayahnya.
Mungkin bagi Ainstein saat-saat seperti ini hanyalah mimpi, tetapi bagi Rudi, ini adalah kenyataan. Selagi ia masih bisa, selagi ia masih sempat. Saat ini bukanlah saat untuk berandai-andai. Saat ini adalah saatnya untuk beraksi.
Dalam sekejap Rudi sudah berada di depan rumahnya. Ia segera membuka pintu dengan paksa. Lampu-lampu di dalam tidak menyala. Ayahnya pasti masih di luar mencari Rudi. Rudi segera menyalakan semua lampu agar ketika ayahnya pulang ia thau Rudi sudah di rumah.
Dan benar saja, tidak lama Rudi mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Rudi segera berlari ke arah ruang depan, dan di sana ia menemukan ayahnya yang berlinangan air mata. Mata sangat merah. Melihat keadaan ayahnya yang seperti ini, Rudi pun tidak dapat lagi menahan perasaannya. Air matanya pun mengalir membasahi pipinya.
Tanpa basa basi Rudi segera berlari menerjang ayahnya dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah, maafkan aku... Hik... Hik...”
“Ya Rudi, ayah juga minta maaf. Kau tidak perlu bersekolah asrama di luar kota. Kau boleh sekolah di manapun kau mau” ujar ayah Rudi dengan penuh kelembutan.
“Tidak ayah, aku mau sekolah di sana! Aku ingin menjadi seorang insinyur, seperti yang ayah inginkan! Bukan sekedar karena itu perintah ayah, tapi karena aku benar-benar ingin!”
“Anakku...” ayah Rudi tak bisa lagi menutupi keharuannya.
Akhirnya mereka berdua menangis berpelukan. Kemudian mereka mengobrol dan bercerita menghabiskan sisa malam itu. Tetapi Rudi tidak pernah mengatakan apa-apa soal Ainstein.
Dan untuk pertama kalinya sejak kematian ibunya, Rudi berbicara penjang lebar dengan ayahnya. Mulai sekarang mereka akan mulai saling memahami satu sama lain.
***
Silahkan saudara-saudariku yang baik, yang mau share atau co-pas, dengan senang hati. Semoga bermanfaat. Semoga pula Allah Ta'ala berikan pahala kepada yang membaca, yang menulis, yang menyebarkan, yang mengajarkan dan yang mengamalkan… Aamiin, Aamiin, Aamiin ya Alloh ya Rabbal’alamin …